Home / Pelayaran / Model Rantai Pasok Adaptif dan Berkelanjutan (Adaptive and Sustainable Supply Chain/ASSC) di Sektor Maritim: Menyatukan Teknologi, Lingkungan, dan Kolaborasi

Model Rantai Pasok Adaptif dan Berkelanjutan (Adaptive and Sustainable Supply Chain/ASSC) di Sektor Maritim: Menyatukan Teknologi, Lingkungan, dan Kolaborasi

BATAM, MARITIMRAYA.COM – (MARA)| Ada pertanyaan yang patut kita telaah, Mengapa Rantai Pasok Maritim Begitu Penting?
Bagi dunia, laut adalah jalan raya terbesar yang pernah ada. Sekitar 80% barang yang diperdagangkan di dunia diangkut lewat jalur laut, mulai dari bahan pangan, energi, hingga produk teknologi. Artinya, jika jalur ini terganggu, hampir semua lini kehidupan akan merasakan dampaknya.

Namun, mengelola rantai pasok maritim bukan pekerjaan sederhana. Di balik layar, ada jaringan kompleks yang melibatkan kapal, pelabuhan, teknologi, cuaca, hingga aturan internasional. Semua komponen ini harus berjalan selaras agar barang bisa berpindah dari satu negara ke negara lain dengan lancar.

Di sinilah model rantai pasok adaptif dan berkelanjutan (Adaptive and Sustainable Supply Chain/ASSC) menjadi penting. Model ini dirancang agar sistem logistik laut tidak hanya tahan banting terhadap gangguan, tapi juga ramah lingkungan dan memberi manfaat sosial (Nassar & Salama, 2018; Kazi Mohiuddin et al., 2024).

Apa Maksudnya “Adaptif” dan “Berkelanjutan”?
Adaptif berarti mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan, baik yang datang dari pasar, teknologi, cuaca, maupun kebijakan. Misalnya, ketika pandemi COVID-19 mengacaukan jadwal pelayaran, perusahaan yang adaptif bisa segera mengubah rute kapal atau mencari pemasok baru.

Sementara itu, berkelanjutan artinya menjalankan bisnis tanpa merusak lingkungan dan tetap memperhatikan kesejahteraan manusia. Dalam konteks maritim, ini bisa berarti mengurangi polusi dari kapal, mengelola limbah di pelabuhan, menggunakan energi terbarukan, dan melindungi ekosistem laut (World Bank, 2021).

Keduanya saling terkait: sistem yang adaptif cenderung lebih siap menerapkan teknologi hijau, dan sistem yang berkelanjutan biasanya lebih tangguh menghadapi tantangan jangka panjang.

Peran Teknologi dalam Membangun ASSC
Teknologi adalah sahabat terbaik bagi rantai pasok maritim modern. Beberapa inovasi yang menjadi sorotan antara lain:

– Blockchain – untuk mencatat setiap transaksi dan pergerakan barang secara transparan sehingga meminimalkan risiko kecurangan (Zhang et al., 2022).
– Internet of Things (IoT) – memungkinkan pelacakan kondisi kargo secara real time, termasuk suhu dan kelembapan, yang penting bagi pengiriman makanan laut segar.
– Kecerdasan Buatan (AI) – membantu memprediksi lonjakan permintaan atau gangguan cuaca sehingga operator bisa mengambil langkah antisipasi.

Menurut Kazi Mohiuddin et al. (2024), penerapan teknologi ini membuat rantai pasok lebih lincah, efisien, dan aman, sekaligus mengurangi biaya.

Menyatukan Banyak Pihak
Tidak ada satu pihak pun yang bisa membangun ASSC sendirian. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, pelabuhan, perusahaan pelayaran, dan lembaga penelitian. Misalnya, kolaborasi pemerintah–swasta dapat menghasilkan kebijakan insentif untuk kapal bertenaga rendah emisi, seperti yang dilakukan Singapura melalui program Green Port (MPA Singapore, 2022).

Kolaborasi juga mencakup berbagi data. Dengan data yang terbuka, semua pihak bisa memantau rantai pasok secara menyeluruh, mengantisipasi hambatan, dan mengoptimalkan rute pengiriman.

Tantangan Nyata di Lapangan
Meski potensinya besar, membangun ASSC tidak bebas hambatan. Beberapa kendala yang sering dihadapi antara lain:

– Biaya awal yang tinggi untuk investasi teknologi hijau dan digital.
– Kurangnya keterampilan tenaga kerja dalam mengoperasikan sistem canggih.
– Aturan yang berbeda-beda antarnegara sehingga sulit menciptakan standar global.

Di Indonesia, tantangan ini terasa nyata karena wilayah maritimnya sangat luas, infrastrukturnya belum merata, dan sebagian besar pelaku industri masih skala kecil.

Pelajaran dari Dunia
Banyak negara telah mencoba membangun ASSC dengan caranya masing-masing:
– Belanda – Pelabuhan Rotterdam memanfaatkan IoT untuk mengatur konsumsi energi dan berhasil menurunkan emisi CO₂ hingga 10% dalam lima tahun (Port of Rotterdam Authority, 2023).
– Singapura – Memberikan insentif bagi kapal yang menggunakan bahan bakar rendah emisi, menarik partisipasi lebih dari 60 perusahaan pelayaran (MPA Singapore, 2022).

Dari contoh ini, jelas bahwa keberhasilan datang dari kombinasi inovasi teknologi, dukungan kebijakan, dan insentif ekonomi.

Peluang untuk Indonesia
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia punya posisi strategis di jalur perdagangan internasional dan potensi besar di sektor perikanan. Untuk memaksimalkan peluang ini, Indonesia perlu:
– Mengadopsi teknologi seperti blockchain dan IoT untuk meningkatkan kepercayaan pasar dan kualitas produk ekspor laut.
– Meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan digitalisasi rantai pasok.
– Memanfaatkan pembiayaan biru (blue finance) untuk membangun infrastruktur hijau.
– Menyelaraskan regulasi dengan standar internasional agar pelaku usaha bisa lebih kompetitif di pasar global.

Kesimpulan
Model rantai pasok adaptif dan berkelanjutan bukan hanya konsep teoretis, melainkan kebutuhan mendesak di era perdagangan global yang dinamis dan penuh risiko. Bagi Indonesia, menerapkan ASSC berarti bukan hanya memperkuat posisi di perdagangan maritim, tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan laut dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Seperti disimpulkan oleh Kazi Mohiuddin et al. (2024) dan Nassar & Salama (2018), masa depan rantai pasok maritim bergantung pada teknologi yang tepat, kolaborasi yang erat, dan komitmen jangka panjang untuk keberlanjutan. Indonesia punya semua modal itu—tinggal bagaimana kita memanfaatkannya.

Penulis : Roni Adi SE,MM (Ketua Dewan Pakar KNTI Kota Batam & Dosen Prodi Perdagangan ITEBA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *